Nakal atau Akal
Jika ada siswa kelas satu sekolah dasar dikeluarkan dari sekolah, apa yang terpikir di benak Anda? Mungkin orang menduga siswa tersebut anak nakal yang sulit diatasi guru-guru di sekolahnya. Namun, di tangan seorang kepala sekolah dasar yang bijak, anak tersebut kelak tumbuh sebagai orang dewasa yang sukses; orang dewasa yang memiliki karakter kuat, mandiri, dan santun. Dia adalah Tetsuko Kuroyanagi. Nama ini sangat terkenal di Jepang
karena setiap hari Tetsuko muncul di televisi sebagai pengasuh acara Tetsuko’s Room.Pada tahun 1981, Tetsuko menerbitkan buku ini yang ditulis berdasarkan pengalaman masa kecilnya yang lucu, unik, dan indah. Hanya dalam waktu singkat, buku ini meraih best seller. Totto- chan membuat sejarah dalam dunia penerbitan di Jepang saat itu dan terjual sebanyak 4,5 juta buku dalam setahun. Penulisnya menerima hadiah untuk buku nonfiksi dan tiga penghargaan lainnya. Pemerintah Jepang memutuskan buku ini sebagai buku wajib dalam dunia pendidikan. Royalti buku ini disumbangkan oleh Tetsuko untuk mendirikan teater profesional pertama di Jepang khusus untuk orang tuna rungu.
Totto-chan adalah nama kecil Tetsuko Kuroyanagi yang pernah dikeluarkan dari sekolah dasar. Dia dianggap selalu menjadi pengacau di kelasnya. Setiap hari ada saja ulahnya yang menjengkelkan para guru. Misalnya, kebiasaannya memandang ke luar jendela saat-saat pelajaran sedang berlangsung. Kemudian secara spontan dia memanggil pemusik jalanan yang lewat di muka kelas sehingga siswa lain pun berduyun-duyun menyaksikan pemusik tersebut. Kadang-kadang dia juga membuka dan menutup laci mejanya berulang kali dengan suara keras untuk memasukkan dan mengeluarkan alat tulisnya (hal 11-15).
Semua hal itu dilakukan Totto- chan karena sifat ingin tahunya yang sangat besar. Namun, di sekolah pertamanya, hal tersebut dipandang sebagai "kenakalan" dan merusak suasana belajar. Pemecatannya dari sekolah itu justru membawa hikmah tersendiri buatnya. Dia masuk sekolah baru yang luar biasa, namanya Tomoe Gakuen (Sekolah Dasar Tomoe). Sekolah yang bukan semata mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga persahabatan, rasa hormat, menghargai orang lain, dan kebebasan menjadi diri sendiri.
Tetsuko Kuroyanagi menulis buku kenang-kenangan masa kecilnya ini untuk dipersembahkan kepada Kepala Sekolah Dasar Tomoe Sosaku Kobayashi. Kobayashi mendirikan Tomoe Gakuen pada tahun 1937 dengan uang pribadinya. Dia pernah berkeliling Eropa (1922-1924 dan 1930) untuk mengunjungi berbagai sekolah di sana dan menyerap pengetahuan sebaik-baiknya. Sebelum mendirikan Sekolah Tomoe, Kobayashi mendirikan Taman Kanak-Kanak Seijo. Guru di taman kanak-kanak tersebut selalu dipesan untuk tidak memaksa anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang sudah digambarkan. "Serahkan mereka kepada alam. Jangan patahkan ambisi mereka. Cita-cita mereka lebih tinggi daripada cita-cita kalian." Itulah pesan bijak dari Sosaku Kobayashi yang sangat dalam artinya bagi pertumbuhan kepribadian anak.
Pola didik yang diterapkan Kobayashi sangat berkesan di hati Kuroyanagi. Kobayashi menganut teori tabularasa yang meyakini bahwa setiap anak terlahir seperti kertas putih. Semua anak dilahirkan dengan watak baik. Watak ini dengan mudah bisa rusak karena pengaruh lingkungan atau orang dewasa di sekitarnya. Tugas para guru dan orang dewasa lain di sekitarnyalah untuk menemukan watak baik setiap anak dan mengembangkannya agar mereka menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas. Kobayashi pun sangat menghargai segala sesuatu yang alamiah dan ingin agar karakter anak-anak berkembang sealamiah mungkin. Hal ini tergambar dengan baik melalui penceritaan yang bertahap sejak awal Totto-chan tiba di Sekolah Tomoe. Pada hari pertama masuk sekolah, selama empat jam sang kepala sekolah dengan sabar mendengarkan Totto-chan bercerita tentang berbagai hal, tanpa menyela, apa lagi memotong ceritanya. Hingga akhirnya si Totto-chan kehabisan bahan cerita (hal 24-28). Kesabaran ini menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat pada Tottochan. Dia merasa kepala sekolah begitu tertarik pada ceritanya. Kepala sekolah begitu menyayanginya dan membuat dia tidak sabar untuk segera belajar di sekolah itu.
Kurikulum di Sekolah Tomoe tidaklah sama dengan kurikulum yang diberlakukan di sekolah lain di Jepang pada saat itu. Kobayashi berusaha menyelami dunia anak-anak, mengikuti irama anak-anak, dan membiarkan anak-anak menemukan kepercayaan diri dan potensi mereka.
Di awal pelajaran, para guru akan menuliskan semua soal dan pertanyaan mengenai hal-hal yang akan diajarkan hari itu. Kemudian guru akan berkata, "Sekarang, mulailah dengan salah satu dari ini. Pilih yang kalian suka." Setiap anak akan mulai dengan mempelajari hal-hal yang mereka minati. Para murid bebas berkonsultasi dengan guru kapan saja dia merasa perlu. Guru akan mendatangi murid jika diminta dan menjelaskan setiap hal hingga anak itu mengerti. Kemudian mereka diberi latihan-latihan lain untuk dikerjakan sendiri. Tidak ada murid yang duduk menganggur dengan sikap tak peduli ketika guru menjelaskan sesuatu. Semua siswa sibuk memecahkan berbagai masalah yang diberikan guru (hal 37-38).
Hal ini mengingatkan kita pada sistem modul yang pernah diterapkan di Indonesia. Sayangnya, kini penerapan sistem modul hanya diterapkan pada sekolah-sekolah tertentu. Memang, sistem modul yang sangat mengakomodasi perkembangan siswa yang berbeda-beda akan menuntut berbagai persyaratan. Di antaranya adalah jumlah siswa yang tidak terlalu banyak, pengetahuan guru yang memadai, konsentrasi guru yang tinggi, media pengajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dan tentu saja biaya pelaksanaan yang tidak sedikit. Padahal jika sistem ini terus diterapkan, bukan tidak mungkin anak-anak Indonesia pun dapat berkembang cepat sesuai kompetensi dan kepribadian khas yang dimilikinya.
Selain cara pengajaran yang berbeda dengan sekolah-sekolah lain, sebagian besar jam pelajaran di Tomoe diisi dengan pelajaran musik. Ada berbagai macam pelajaran musik. Di antaranya adalah euritmik. Euritmik adalah semacam pendidikan tentang ritme atau irama khusus yang diciptakan oleh Emile Jaques Dalcroze untuk mengasah kepekaan dan intelektualitas siswa. Dalam latihan euritmik, anak-anak diajarkan bagaimana mendengarkan dan merasakan musik di pikiran mereka. Musik bukan hanya dinikmati dengan telinga, tetapi juga dengan gerak. Pelajaran ini selalu menarik untuk anak-anak di Sekolah Tomoe. Kobayashi selalu menyempatkan diri untuk mengajarkan euritmik, betapapun sibuknya dia sebagai kepala sekolah.
Kelas Totto-chan mempelajari euritmik dengan melatih tubuh mengikuti irama. Para siswa boleh berjalan dengan gaya sesuka hati, asal jangan bertabrakan dengan anak lain. Tujuan euritmik adalah melatih pikiran dan tubuh untuk sadar akan adanya irama, selanjutnya mencapai keselarasan antara jiwa dan raga, sampai akhirnya membangkitkan imajinasi yang merangsang kreativitas (hal 104). Kobayashi tidak ingin anak-anak menjadi manusia yang punya mata, tapi tidak melihat keindahan; punya telinga, tapi tidak mendengar musik; punya pikiran, tapi tidak memahami kebenaran; punya hati, tapi hati itu tak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar (hlm. 106).
Jadi, apa yang sekarang populer dalam sistem pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi otak kanan dan otak kiri dengan sebaik-baiknya, jauh-jauh hari sudah dilakukan Sosaku Kobayashi di Sekolah Tomoe. Itulah sebabnya, buku ini baik dibaca bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk kalangan pendidik dan orang dewasa yang ingin belajar memahami dunia anak-anak dengan sudut pandang yang lebih tepat.
Liliana Muliastuti Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta
Judul Buku : Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa : Widya Kirana
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan I, Mei 2003
Tebal : 272 halaman
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa : Widya Kirana
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan I, Mei 2003
Tebal : 272 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar